Wednesday, October 12, 2011

KECELE SPIDOL

Seperti biasa, hari ini ada tiga mata kuliah. Sama seperti dosen kuliah pertama dan kedua, dosen ketiga juga bolak-balik ganti spidol. Pasalnya, dari 4-5 batang spidol, hanya satu di antaranya yang tintanya masih memadai.

Saya memilih duduk di barisan paling belakang sejak awal semester tiga ini. Pasalnya, ingin jadi 'pengamat' setelah di dua semester sebelumnya, saya merasa, terlalu 'monopoli' suasana kelas. Pembawaan saya yang merasa berhak menjawab dan bertanya sepanjang pertanyaan dan hak tanya itu diberikan ke seisi kelas, berpadu dengan ketidakbisaan saya menunggu, menjadikan saya cukup sering mengambil kesempatan pertama untuk unjuk suara. Diperburuk pula dengan pilihan duduk di barisan terdepan: saya tidak melihat situasi di belakang saya, yang boleh jadi ada juga yang mau bertanya/menjawab selain saya. Dengan duduk di belakang, jarak dengan dosen lumayan terbentang membuat saya tak lagi merasa bagai 'murid privat' sebagaimana saat di barisan terdepan.

Kembali ke soal spidol. Dulu, di semester satu dan dua, saya senang memeriksa spidol-spidol di pagi hari, sebelum jam pertama dimulai. Saya pikir, itu salah satu hal kecil yang bisa jadi kontribusi saya di kelas. Spidol-spidol yang kurang nyata lagi saya bawa ke petugas kampus untuk diisi ulang. Atau paling tidak, saya singkirkan dari meja dosen, agar dosen tidak 'terjebak' mengambil spidol yang tidak nyata itu. Tapi, rupanya, ini juga jadi salah satu yang sepertinya menyebabkan saya 'monopoli' suasana di kelas. Urusan monopoli yang tak sekedar permainan kanak-kanak pakai uang-uangan itu, ditunda dulu semester ini. Duduk manis di belakang, no show-off, baca saja aneka peristiwa di sekitar.

Siang tadi, di jam pelajaran ketiga, dengan agak frustrasi karena bolak-balik kecele mengambil spidol yang sudah kabur, sang dosen mengatakan, "Jangan tipu saya dengan meletakkan banyak spidol di meja tapi tidak ada tintanya."

Tiba-tiba saya menyadari, di antara puluhan orang mahasiswi, hanya dua orang yang peduli masalah atas spidol tersebut. Satu orang memang dosen di universitas lain (di sini, dia jadi mahasiswi), yang sudah wajar bila dia membawa spidol whiteboard ke mana-mana. Itupun, dia mengeluarkan spidolnya setelah insiden 'dosen kecele spidol' terjadi berulang kali. Satunya lagi, bendahara kelas, yang memang sejak semester satu, duduk di tempat terdekat dengan meja dosen. Kawan yang satu ini memang agak lain dari yang lain. Inisiatifnya melihat kebutuhan kelas, patut diacungi jempol.

Adapun mahasiswi lainnya, hanya melontarkan kata-kata, "Tulisannya tidak kelihatan, Ustadz!" Tapi tidak berinisiatif lebih jauh mencari solusi atas masalah 'kecele spidol' ini.

Saya teringat hari-hari menuntut ilmu di negeri mayoritas non-muslim, tanah kelahiran Doraemon, Konan, Shin-chan, you name it-lah; you like it or not tapi kenyataannya merebut mayoritas pasar penggemar komik. Seingat saya, spidol yang mau dipakai guru di kelas semuanya sudah dalam keadaan siap pakai. Petugas sekolah yang menyiapkannya. Tampak jelas spidol-spidol itu bukan baru, tapi sudah diisi ulang berkali-kali. Tidak hanya satu warna, tapi tiga warna: hitam, biru, merah. Saat guru menerangkan pelajaran di papan tulis, guru yang non-muslim itu juga memikirkan bagaimana menggunakan warna berbeda-beda agar murid bisa lebih mudah menangkap apa yang ia tulis.

Memastikan spidol siap pakai sebenarnya bisa singgah di kepala siapa saja, kalau saja kepala itu isinya hidup. Ada kesenjangan yang memprihatinkan antara proses belajar Dienullah --sebaik-baik jalan hidup--, dengan hasil nyatanya di keseharian, bila dibandingkan dengan mereka yang sama sekali jauh dari Dienullah, bahkan tidak percaya Tuhan itu ada.

Selain kendala ada pada pihak murid, pihak penyelenggara sekolah juga patut dipertanyakan. Apakah urusan spidol adalah kewajiban murid? Saya kira tidak. Seharusnya, sarana dan fasilitas, apalagi hal yang sepele soal spidol itu, sudah dijamin tak lagi jadi masalah oleh pihak sekolah. Jika memang itu kewajiban murid, seharusnya diutarakan dengan jelas. Agar tidak terjadi saling mengharap tanpa sama-sama berangkat dari titik pandang yang sama. Hal kecil sebenarnya, tapi membuat kita bisa memprediksi penanganan hal-hal besar. (Apakah kita masih heran kenapa kita perlu tenaga asing untuk urusan-urusan besar di negeri ini?).

###

Bambu Apus, 12 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment