Wednesday, October 19, 2011

MAKA, DI MANA ALLAH?

Saya sempat mengira, setelah apa yang terjadi di semester satu dan dua, sudah cukup untuk membuat rekan-rekan sekelas lebih dewasa bersikap saat ujian.

Pada semester yang lalu, sempat timbul kehebohan karena ada salah seorang di kelas kami yang malapor ke pihak dosen bahwa di kelas kami, ada beberapa orang yang mencontek. Yang melapor entah siapa, salah seorang dosen memanggil saya dan menunjukkan sms laporan tersebut.

"Ini nomor Ibu?" tanya ustadz.
"Bukan. Nomor saya hanya satu, tidak ganti-ganti."

Ketika itu, ustadz yang bertanggung jawab dengan program studi mahasiswa, mengirim sms nasehat ke seluruh mahasiswi. Juga meminta masing-masing untuk saling menasehati agar tidak mencontek.

Saya termasuk yang cukup keras bereaksi soal ini. Di catatan-catatan yang saya buat, saya beri footnote di bawahnya: "Dilarang menggunakan catatan ini untuk mencontek. Tidak diikhlaskan dan akan dituntut di akhirat."

Sebagian teman ada yang komplain di belakang --tapi sampai ke saya-- soal footnote itu. Kurang lebih, mereka menganggap tulisan seperti itu tidak perlu karena mereka sudah bukan anak kecil lagi.

Tapi, kenyataannya, pada hari ini, mereka kembali mencontek. Ustadz berhenti mengawasi, karena azan shalat dhuhur sudah berkumandang. Ustadz sepertinya sudah cukup percaya bahwa kami tidak akan berlaku curang. Apa cuma ustadz? Saya juga, terus terang.

Saya mengumpulkan jawaban saya menyusul satu-dua orang teman yang lebih dahulu mengumpulkannya. Bukan karena saya yakin sudah tahu jabawannya semua. Tapi, yang saya yakini adalah, itu sudah jawaban optimal yang bisa saya berikan. Yakin, ada yang salah, tapi otak sudah tidak memberi petunjuk lagi ke jalan yang lebih benar.

Saya lalu pergi salat di masjid, di mana ustadz yang mata kuliahnya sedang diujikan di kelas, juga sedang shalat. Usai salat, saya masuk kelas, dan ya Allah, mereka menyalin jawaban dari lembar kertas yang sudah disetor.

Miris rasanya. Untuk apa sebenarnya mereka belajar di sini?

Di mana Allah? Adakah mereka lupa bahwa mencontek itu adalah perbuatan curang dan kecurangan itu tidak halal? Apa mereka tak merasa, mereka merendahkan diri mereka sendiri dengan mencontek? Mereka mengeluh bahasa Arab susah; ya bagaimana tidak susah jika sering telat datang, tidak serius mengerjakan tugas, tidak proaktif mencari jawaban atas apa yang mereka tidak pahami.

Lalu di saat ujian, solusinya adalah mencontek.

Ingatan saya melayang ke generasi sahabat. Mereka tidak menerima Al-Qur'an banyak-banyak, tapi yang sedikit --bahkan kadang hanya potongan ayat--, cukup untuk 'menyulap' mereka menjadi sosok yang betul-betul punya integritas. Adapun kelas saya, hafalan Qur'an sudah masuk juz 29. Di bagian awal Surat Al-Mulk, jelas-jelas ada ayat yang semestinya cukup untuk membuat orang takut mencontek: "Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah (pantas) Allah yang Menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha Halus, Maha Mengetahui." (67:13-14)

Wajar saja kalau ummat Islam ketinggalan jauh dari ummat-ummat lainnya. Untuk soal begini saja, mereka belum punya kesadaran/rasa malu dari dalam. Di negara-negara maju sana, banyak orang yang bahkan tidak percaya adanya Tuhan. Tapi mereka malu untuk mencontek. Mereka itu tidak kenal Allah, tidak kenal Al-Qur'an. Kalaupun mereka berbuat curang, mungkin masih bisa dipahami.

Tapi mereka yang sudah berkelut dengan ayat-ayat Allah setiap hari?

---

Gang Haji Arnin, 18 Oktober 2011.

No comments:

Post a Comment